Kiai Nawawi Dencik Alhafiz. Beliau adalah salah satu ulama karismatik di Palembang, Indonesia, bahkan hingga diketahui beberapa negara di luar sana. Kiai telah berpulang dengan tenang dan meninggalkan ribuan orang yang mencintainya, pada hari Ahad 27 Juni 2021. Penghafal Alquran, Imam Besar Masjid Agung Palembang yang keputusannya tidak dapat diganggu gugat, nasihatnya tidak dapat dielak.
Kiai adalah sosok sederhana nan tawadu, yang menyukai keset dan kucing. Mencuci keset sendiri hingga menjemurnya sendiri. Beberapa kali kaki hina saya menginjakkan diri di sekitar halaman rumah Kiai, sebagai pencinta kucing saya pun suka menyapa kucing-kucing Kiai yang dikurung di dalam kandang.
Ah.. betapa bahagianya mereka diasuh oleh seseorang seperti Kiai.
Kiai Nawawi adalah pemimpin Yayasan Pondok Pesantren Putri Al Lathifiyyah Palembang dan Pondok Pesantren Ahlul Quran Palembang. Fasih lidahnya setiap kali melantunkan ayat suci Alquran, atau setiap kali berucap. Wajahnya tidak pernah lepas dari senyum. Tawadunya selalu meruntuhkan para jiwa yang sombong.
Buya Nawawi, panggilan beberapa santri dan santriwati terhadapa Kiai. Beliau adalah ayah, ayah bagi ruh para muridnya. Saya yang tidak pernah duduk talaqqi dengan beliau pun memanggil Kiai dengan sebutan Buya, apalagi mereka yang selalu disimak oleh Buya hafalannya maupun yang banyak menghabiskan waktu bersama Buya selama hidupnya.
Buya adalah sosok berpengaruh yang tangannya sehalus kapas. Sosok yang dapat menerima siapa pun, perkataannya halus dan Buya adalah satu-satunya murid dari KH Rasyid Siddiq yang berhasil menyelesaikan hafalan 30 juznya. Buya dipilih Allah untuk menjaga Alquran itu. Allahu yarhamka... Allahu Yahfadzka...
Lahir pada 27 Februari 1977, beliau merupakan murid KH Rasyid Siddiq yang rela berjalan jauh dari ulu menuju Masjid Agung untuk belajar kepada KH Rasyid Siddiq. Hingga kini, di ruang rapat Sekolah Tinggi Ilmu Quran Al Lathifiyyah terpajang foto ukuran sangat besar, yakni foto KH. Rasyid
Siddiq.
Buya Nawawi adalah yang selalu berbinar binar bahagia saat menceritakan bagaimana STIQ Al Lathifiyyah bisa berdiri. Mimpi Buya salah satunya adalah membangun sekolah Alquran berbasis pondok. Begitu banyak sahabat, kerabat yang antusias membantu Buya untuk mewujudkan mimpinya. Saya masih bisa mengingat dengan jelas senyuman lembut itu saat menceritakan sejarah STIQ Al Lathifiyyah.
Masih teringat jelas punggung Buya dari belakang yang selalu saya perhatikan setiap kali ada kegiatan Kuliah Umum atau ketika Wisudah Tahfidz. Saya perhatikan benar, saat itu saya belum sadar, cinta saya sebesar ini ternyata. Saat beliau pergi dari dunia, barulah tangis saya pecah, rindu saya terbongkar, cinta saya terlihat. Barulah saya sadar, saya memendam cinta cukup banyak, semenjak bertemu Buya di tahun 2017 dan bertemu Umi Lailatul Mujizat, sekaligus Ustadzah Laila adalah guru yang menyimak bacaan Alquran saya.
Ah... rasanya mengapa saya baru sadar saya memiliki cinta ini.
Tapi benar benar, baru kali ini saya merasakan gerakan reflek kesopanan dari tubuh saya, tanpa otak saya perintah. Setiap kali Buya atau Ustadzah atau keduanya lewat di hadapan saya, tubuh saya akan langsung menghadap keduanya jika keadaan saya memunggungi keduanya, jika saya sedang berhadapan dengan keduanya, tubuh saya hanya akan diam, tidak bergerak. Hingga keduanya berlalu atau tidak berada di hadapan saya lagi. Saya akan menunduk, jika bisa mencium tangan ustadzah, saya akan mencium tangan beliau. Jika keadaan tidak memungkinkan, saya akan menahan keinginan saya yang mungkin akan mengganggu kenyamanan beliau.
Begitu pula jika keadaan membuat saya terpaksa lewat di depan rumah Buya, punggung saya akan merunduk hingga saya selesai melewati rumah itu. Malu benar rasanya dan tidak pantas hanya untuk lewat di depan rumah Buya dan Ustadzah.
Hal ini berpengaruh terhadap tingkah saya terhadap guru saya yang lainnya.
Pesan buya yang juga pesan KH Rasyid Siddiq kepada beliau, yang sangat saya ingat adalah
"Jangan pernah menganggap Alquran yang sudah kamu hafal, yang kamu lantunkan, itu adalah berkat dirimu, anggaplah itu Allah sedang berbicara padamu."
Selamat jalan Buya
kami mencintai Buya...
Masih dengan cinta yang sama dan rindu yang sama
Semoga bisa terus mengunjungi Buya setiap rindu
Semoga Buya anggap Ailsa murid Buya...
Buya.. setelah kepergian Buya.. kejadian itu tanamkan traumatis lagi pada diri saya. Saya punya trauma, dan kini bertambah lagi.
Saya trauma terhadap kalimat Innaa lillaahi wa innaa ilayhi rooji'uun. Saya trauma mendengar suara ambulan. Air mata saya bisa menetes sendiri, hati saya bisa sakit sendiri.
Saya takut kehilangan orang-orang yang amat saya cintai, terutama yang tidak saya sadari, bahwa saya amat mencintainya. Seperti saya mencintai Buya dan Ibu Nyai yang di luar kesadaran saya.
Komentar
Posting Komentar