Saya sering mendengar atau mungkin saya sendiri pelakunya, yang mengutarakan sebuah argumen, bagi saya lebih ke arah pembelaan, tidak tahu itu nafsu atau memang perkataan yang didasar dasarkan agar berpihak pada saya atau diri yang melakukannya.
"Yang penting niatnya..."
Tulisan ini saya tulis karena tiba tiba teringat akan pertanyaan teman seperkuliahan saya saat dulu ada presentasi di kelas, saya lupa mengenai siapa yang mempresentasikan materi pada saat itu.
Pertanyaannya seperti ini kira kira,
"Bagaimana menurut Anda tentang seseorang yang berkata 'yang penting niatnya?'."
Dan karena teringat pertanyaan itu, teringat pula ucapan guru saya yang baru saya kenal kira kira selama kurang lebih satu bulan ini. Semoga beliau menganggap saya muridnya.
"Orang yang Siddiq (benar) itu tidak suka cacian dari orang karena itu (mencaci) adalah (bentuk) maksiat kepada Allah."
Awalnya, saya mengira bahwa orang siddiq itu merasa senang saat tidak dicaci, karena guru saya berbicaranya sangat tertata, perlahan, hati-hati dan jelas, dan saya berpikir seperti itu saat beliau memberi jeda di dalam penjelasannya, yakni berhenti pada kalimat 'tidak suka cacian dari orang.'
Tapi tidak lama kemudian beliau mengatakan kelanjutan dari kalimat tersebut.
Dan penjelasan dari kalimat tersebut adalah bahwa orang yang Siddiq itu tidak suka orang lain mencacinya, sebab dikarenakan dirinya, orang lain justru tergelincir dalam perbuatan maksiat (mencaci maki merupakan salah satu perbuatan maksiat). Dalam arti lain, berarti orang Siddiq tersebut berlaku suatu hal yang di mana menjadikan dia sebuah perantara untuk orang lain berlaku maksiat, dengan cara mencaci maki dirinya.
Dalam urusan sinkronisasi niat dan pilihan perilaku, saya pikir ini bisa menjadi sebagai bahan renungan untuk kita semua.
Terkadang kita lebih mengutamakan, menyombongkan, membanggakan, mengungguli, menonjolkan, mempedulikan niat kita dan tidak peduli akan penilaian orang lain.
Peduli akan penilaian orang di sini bukan berarti kita berbuat karena makhluk, tapi bagaimana kita memilih perilaku atau tindakan, agar dengan perbuatan kita tersebut, minimal mengurangi cacian dari orang lain, karena mustahil bagi kita yang terbatas ini, untuk menutup mulut dan memberhentikan akal pikiran orang lain mengenai diri kita.
Dalam berbuat suatu hal, ada baiknya, bahkan sangat baik dan wajib bagi saya untuk berpikir berkali kali sampai mantap, sampai dirasa ini benar benar terbaik dan usaha semaksimal mungkin.
Bahkan walau dengan niat kita berdakwah, syiar, tapi jika cara yang dilakukan itu keliru, membuat mayoritas orang menilai jelek dan menyimpang, untuk saya, kita wajib mempertanggungjawabkannya atas sikap mereka karena kita yang terlalu gegabah dan 'seenaknya' 'seegoisnya' menonjolkan niat namun mengabaikan cara yang dilakukan.
Niat dan perilaku harusnya diseimbangkan.
Jangan egois sebelah
Jangan mau menang sendiri sendiri, tapi menangkanlah keduanya.
Keseimbangan itu perlu
Timpang sebelah adalah kerawanan
Cintailah semua makhluk
Sayangi semua makhluk
Ini nasihat bagi saya sendiri yang tentu bukan makhluk sempurna, dan semoga bisa menjadi nasihat bagi semua yang membacanya.
Wallahu a'lam
Jika ada kesalahan kata dan pemahaman, itu dari keterbatasan yang saya miliki, dan saya mohon ampun pada Allah
Jika itu benar itu semua dari Allah
Bismillah😊😊😊
Semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah dan selalu diberi Taufik untuk terus berada di jalanNya.
Aamiin yaa Rabbal-'alamiin
✍️ Ailsa Digna A
Semangat terus kakak ails :)
BalasHapus