“Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang.
Masing-masing beredar pada garis edarnya”.
Kemudian, guru saya berkata dalam tulisan beliau:
Matahari dan bulan adalah makhluk Allah yang istiqomah, selain itu selalu beredar sesuai dengan
aturan Allah, bahkan gerhana yang akan terjadi 50 tahun lagi pun dapat diketahui
perhitungannya.—Ustadzah Firza Elis
Bismillahirrahmaanirrahiim
Allahumma sholli ‘alaa sayyidinaa Muhammad wa ‘alaa aali sayyidinaa Muhammad.
Assalamu’alaikum wa rahmtullahi ta’ala wa barakaatuh sahabat!
Cukup lama tidak berceloteh ria atau berbagi isi kepala yang menyerang akal dan hati saya berkali-kali hingga tidak dapat disampaikan dengan lisan. Hari ini berbicara tentang Konsistensi Matahari dan Bulan.
Mengapa menarik untuk ditulis atau disampaikan? Sangat menarik bagi saya pribadi untuk membicarakan kebaikan makhluk lain, tanpa terkecuali benda-benda alam yang kita anggap ‘tidak ada apa apanya’.
(Intermezo sedikit)
Ini membuat saya ingat akan salah satu kisah ulama yang mendidik anaknya untuk menjadi hamba yang tawadhu’. Mengapa saya bilang hamba? Bukan manusia? Karena kita semua adalah hamba Allah, makhluk Allah. Jika manusia, di saat ini saya merasa sombong mengatakan diri saya manusia di antara makhluk-makhluk lainnya yang selain manusia.
Dikisahkan pada suatu hari, anak seorang ulama ini diperintah oleh ayahnya (seorang ulama) untuk keluar dan mencari makhluk mana yang lebih rendah dari dirinya.
Sebagai anak yang salih, ia mematuhi perintah ayahandanya, kemudian dirinya mulai keluar dari rumah dan mencari hal yang lebih rendah dari dirinya.
Hingga menjelang malam tiba, bertemulah ia dengan anjing—setelah perjalanan jauh ia bertemu orang/makhluk lain yang selalu memiliki alasan mengapa mereka tidak dapat dikatakan lebih rendah darinya—saat memandang anjing tersebut, berkatalah dirinya.
“Inilah makhluk yang lebih rendah dari diriku, dia najis, aku tidak.. sehingga dia lebih rendah dari diriku”. Tuturnya.
Bi idznillah... anjing itu berbicara padanya.
“Wahai Fulan, jika engkau merasa lebih baik dariku, maka apakah kamu dapat memastikan dirimu masuk surgaNya Allah, padahal ketika hari kiamat kelak, aku menjadi debu yang berterbangan, tidak ada hisab bagiku”.
Mendengar jawaban dari anjing tersebut, maka menangislah anak tersebut, hingga ia pulang ke rumah dengan tangan kosong. Ketika sang ayah menanyakan ‘mana hal yang menurutnya lebih rendah darinya’, dirinya menjawab tidak ada karena tidak ada yang lebih rendah kecuali yang merendahkan makhluk lainnya.
Dan kita? Bagaimana? Berdasarkan kisah di atas.
Jangankan dengan anjing atau babi yang sudah jelas secara fikih mereka haram, najis, dengan hal-hal kecil saja, seperti kertas, semut, kodok, meja dll:
“Ah! cuma kertas juga”.
“Ah! cuma semut juga”.
“Ah! jijik, kodok itu!”
Sekarang renungkan, apakah selama ini kita berkata tersebut ada sebesar biji zarrah sombong? Atau bahasa gamblangnya meremehkan?
Berdasarkan ini, maka amat apiknya jika kita mengambil ibrah atau hikmah atau intisari dari matahari dan bulan yang walaupun mereka nampak tak hidup, namun mereka adalah hamba yang taat, istiqomah dalam kewajiban mereka, dalam pengabdian mereka pada Allah.
(...)
Mbak, matahari sama bulan kan tidak memiliki akal, boro-boro nafsu pun tidak ada. Saya bukan menyuruh kalian meniru jati diri si matahari dan bulan, tapi kita harus tahu bahwa Allah berbicara pada diri kita setiap detik. Ayat-ayatNya tidak hanya tentang Alquran, tapi juga ayat-ayat basah—seperti kata Achmad Chodjim—yakni alam semesta ini.
Iya! Ayat ayat basah Allah adalah alam semesta ini, jagat raya yang di luar bumi juga ayat Allah.
Manusia, hewan, benda mati, langit, tiang listrik, jalanan aspal, angin yang berhembus, sengatan matahari, air laut, air hujan, hingga matahari dan bulan.
Jadi, saya tidak mengajak teman-teman untuk menjadi seperti matahari dan bulan, tapi contohlah hal-hal yang dapat dicontoh dari matahari dan bulan, salah satunya keistiqomahan keduanya.
Matahari dan bulan ini sejak awal penciptaan hingga detik ini, selalu konsisten di garis edarnya.
Matahari yang diperintah untuk tetap diam dalam posisinya, bulan yang mematuhi untuk terus mengitari bumi tanpa berpindah ke planet mana pun yang tampaknya lebih apik dari bumi—seperti saya yang tertarik kalau ada kemungkinan tinggal di Saturnus, planet yang cantik bagi saya.
Sifat dasar keduanya yang konsisten dan profesional serta tidak egois ini merupakan sifat yang sangat bagus untuk dicontoh kita semua. Kebanyakan manusia adalah makhluk yang sulit konsisten, kecuali.. ada materil yang bisa dia dapatkan. Kebanyakan ya.. berarti tidak semua. Siapa tahu, teman teman adalah salah satu yang tidak termasuk kebanyakan.
Matahari dan bulan adalah salah dua makhluk Allah yang hidup apa adanya, harmonisasi dengan lingkungan dan menerima untuk apa mereka diciptakan, peran apa yang diamanahkan kepada mereka. Dengan peran yang seperti itu, keduanya konsistensi dalam menjalani perannya hingga hari akhir tiba.
Sebagai manusia yang memiliki akal, hati serta balasan bagi yang mengerjakan sebuah kebaikan, alangkah apiknya kita merendahkan hati untuk menganggap matahari dan bulan adalah sosok hamba yang laik untuk ditiru keistiqomahannya.
Ada sebuah kutipan yang baru saja kulihat, bahwa untuk mencapai suatu hal konsistensi adalah kunci utamanya. Keberhasilan bukan didapatkan dengan semangat di awal, namun pada saat pertengahan hingga akhir malah menyusut, namun berbuat secara sedang-sedang saja, tidak berlebihan di awal, namun konsisten.
Seorang ulama berpesan bahwa, pekerjaan sedikit yang istiqomah atau konsisten itu lebih dicintai Allah dibanding amalan yang sekali banyak namun tidak istiqomah, ketekunan menjadi kunci untuk mencapai hal yang diinginkan.
Jadi, bagaimana?
Apakah teman-teman, kita, bersedia untuk meniru konsistensi matahari dan bulan?
Bulan tidak berputar cepat-cepat agar cepat sampai di hari akhir. Begitu juga matahari, tidak berpindah pindah agar waktu menuju hari akhir itu segera tiba dan tugasnya selesai. Tapi mereka bersabar dalam istiqomahnya, tidak berubah posisi, manut saja dengan aturan Sang Pencipta. Sing penting berperan sesuai peran yang diamanahkan oleh GustiAlah.
Ga grasa grusu, ngedumel, apalagi ngotot hingga membangkang.
Lihat Iblis, dia konsisten menggoda manusia agar tersesat.
Ga malu sama iblis laknatullah?
(...)
So, sekian ya teman teman untuk ngobrolnya.
Tetap semangat dan istiqomah.
Jangan terpengaruh dengan titik keberhasilan orang lain, ayolah... kamu itu sudah ahsani taqwim. Oghee?!
Akhirul-kalam...
Jika ada kebenaran dan petunjuk dalam tulisan ini, itu semua dari Allah
Jika ada kesalahan itu adalah dari nafsu penulis.
Terima kasih!
Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi ta’ala wa barakaatuh
Maa Syaa Allah mba
BalasHapus